Powered By Blogger

Selasa, 09 Agustus 2011

linguistik terapan

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dewasa ini, mengemukakan pendapat bagi setiap orang adalah sebuah kebebasan. Tidak ada lagi pengekangan dalam berpendapat. Semua orang bebas mengeluarkan unek-uneknya dengan berbagai cara. Mulai hanya gurauan-gurauan kecil di warung kopi hingga mengeluarkan pendapat dengan cara berkelompok dalam skala besar dan terkonsentrasi di suatu tempat tertentu. Untuk menyampaikan pendapat sekelompok orang, yang menganggap adanya ketimpangan atau kekeliruan mengenai sesuatu yang menyangkut diri mereka. Aktivitas seperti ini pada saat sekarang lazim dilakukan dan disebut dengan unjuk rasa.
Maraknya aksi unjuk rasa sekarang ini tentu saja merupakan sebuah fenomena sosial, politik maupun budaya yang setiap saat terus-menerus mengalami perkembangan. Unjuk rasa yang mulai ramai kembali sejak digulirkannya orde reformasi pada 1998 tentu telah mengalami berbagai perubahan. Apalagi, jika dibandingkan dengan unjuk rasa yang terjadi pada masa-masa sebelum orde baru. Unjuk rasa yang biasanya dimotori oleh mahasiswa dan lembaga-lembaga swadaya masyarakat merupakan fenomena yang mempunyai keistimewaan untuk diteliti dari berbagai sudut pandang keilmuan.
Di balik berbagai kenyataan-kenyataan tentang unjuk rasa di atas, secara kebahasaan unjuk rasa juga memiliki kekhasan tersendiri. Bahasa-bahasa yang digunakan untuk menyampaikan pendapat para pengunjuk rasa merupakan sebuah objek kajian bahasa yang menarik. Kesatuan bahasa tersebut membentuk sebuah wacana yang merupakan ranah kajian dari analisis wacana.
Untuk itu dalam makalah ini akan digunakan analisis wacana kritis sebagai pisau dalam mengupas wacana bahasa pengunjuk rasa. Salah satu kelebihan analisis wacana kritis dibandingkan dengan analisis wacana yang lain (analisis wacana biasa) adalah kemampuannya menguak lebih dalam isi wacana. Dengan pendekatan interdisipliner, analisis wacana kritis mampu menggali ideologi dan pengetahuan yang tersembunyi di balik suatu wacana.
Dalam makalah ini yang digunakan sebagai objek adalah wacana tuntutan pembersihan mafia peradilan yang disampaikan oleh Komunitas Mahasiswa Hukum Jakarta (KMHJ) pada Kejaksaan Agung. Alasan dipilihnya bahasa pengunjuk rasa mafia peradilan adalah besarnya isu mafia peradilan ini. Dan dibalik itu rakyat Indonesia juga dikagetkan dengan kenyataan-kenyataan yang terkuak. Ternyata peradilan di Indonesia tak ubahnya seperti pasar tradisional yang di dalamnya kita bebas menawar dan dilengkapi pula dengan jasa makelar. Maka dari itu, makalah ini disusun dengan judul “Analisis Wacana Kritis Bahasa Pengunjuk Rasa KMHJ tentang Mafia Peradilan”.
B. Rumusan Masalah
1. Apakah yang dimaksud Analisis Wacana Kritis?
2. Bagaimana penerapan Analisis Wacana Kritis dalam bahasa pengunjuk rasa KMHJ tentang mafia peradilan?
C. Tujuan Penulisan
1. Memahami apa yang dimaksud dengan analisis wacana kritis.
2. Memahami dan menerapkan analisis wacana kritis dalam bahasa pengunjuk rasa KMHJ tentang mafia peradilan.











BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Analisis Wacana Kritis
Analisis wacana kritis merupakan salah satu bidang analisis wacana yang memandang luas kepada unsur-unsur eksternal dari sebuah wacana. Terutama kepada fungsi dari sebuah wacana. Analisis wacana kritis tidak semata-mata hanya dibatasi oleh dimensi dari wacana itu sendiri. Namun, analisis wacana kritis lebih memandang kepada unsur-unsur di luar wacana atau pos-strukturalis. Seperti yang dikemukakan Basir (2010:5) komunikasi di masyarakat menghendaki (mementingkan) peran bahasa semata-mata sebagai media, bukan tujuan. Oleh karena itu tidak jarang ungkapan pikiran antar partisipan bahasa diwujudkan dalam model-modelnya yang secara teoritik dipandang kurang wajar dan tidak berterima, namun secara fakta tidak ada masalah.
Menurut Jorgensen dan Philips (2007: 120) Analisis wacana kritis itu bersifat “kritis” maksudnya adalah bahwa analisis ini bertujuan mengungkap peran praktik kewacanaan dalam upaya melestarikan dunia sosial, termasuk hubungan-hubungan sosial yang melibatkan hubungan kekuasaan yang tak sepadan. Pendekatan analisis wacana kritis memihak pada kelompok-kelompok sosial yang tertindas.
Menurut Fairclough (dalam Jorgensen dan Philips, 2007:123) wacana merupakan bentuk penting praktik sosial yang mereproduksi dan mengubah pengetahuan, identitas dan hubungan sosial yang mencakup hubungan kekuasaan dan sekaligus dibentuk oleh struktur dan praktik sosial yang lain. Oleh sebab itu, wacana memiliki hubungan dengan dimensi-dimensi sosial yang lain. Maksudnya adalah wacana tidak hanya untuk dibaca dan selesai. Namun, lebih jauh dari itu wacana dilihat kepada fungsinya dalam masyarakat dan kegunaannya dalam hubungan sosial. Baik hubungan sosial secara vertikal maupun horizontal.
Lebih lanjut, Fairclough, Wodak dan Van A. Dijk berpendapat bahwa analisis wacana kritis adalah bagaimana bahasa menyebabkan kelompok sosial yang ada bertarung dan mengajukan ideologinya masing-masing. Berikut disajikan karakteristik penting dari analisis kritis menurut mereka:
1. Tindakan. Wacana dapat dipahami sebagai tindakan (actions) yaitu mengasosiasikan wacana sebagai bentuk interaksi. Sesorang berbicara, menulis, menggunakan bahasa untuk berinteraksi dan berhubungan dengan orang lain. Wacana dalam prinsip ini, dipandang sebagai sesuatu yang betujuan apakah untuk mendebat, mempengaruhi, membujuk, menyangga, bereaksi dan sebagainya. Selain itu wacana dipahami sebagai sesuatu yang di ekspresikan secara sadar, terkontrol bukan sesuatu di luar kendali atau diekspresikan secara sadar.
2. Konteks. Analisis wacana kritis mempertimbangkan konteks dari wacana seperti latar, situasi, peristiwa dan kondisi. Wacana dipandang diproduksi dan dimengerti dan dianalisis dalam konteks tertentu. Guy Cook menjelaskan bahwa analisis wacana memeriksa konteks dari komunikasi: siapa yang mengkomunikasikan dengan siapa dan mengapa; kahalayaknya, situasi apa, melalui medium apa, bagaimana, perbedaan tipe dan perkembangan komunikasi dan hubungan masing-masing pihak. Tiga hal sentaralnya adalah teks (semua bentuk bahasa, bukan hanya kata-kata yang tercetak dilembar kertas, tetapi semua jenis ekspresi komunikasi). Konteks (memasukan semua jenis situasi dan hal yang berada dilar teks dan mempengaruhi pemakaian bahasa, situsai dimana teks itu diproduksi serta fungsi yang dimaksudkan). Wacana dimaknai sebagai konteks dan teks secara bersama. Titik perhatianya adalah analisis wacana menggambarkan teks dan konteks secara bersama-sama dalam proses komunikasi.
3. Historis, menempatkan wacana dalam konteks sosial tertentu dan tidak dapat dimengerti tanpa menyertakan konteks.
4. Kekuasaan. Analisis wacana kritis mempertimbangkan elemen kekuasaan. Wacana dalam bentuk teks, percakapan atau apa pun tidak di pandang sebagai sesuatu yang alamiah wajar dan netral tetapi merupakan bentuk pertarungan kekuasaan. Konsep kekuasaan yang dimaksudkan adalah salah satu kunci hubungan anatara wacana dan masyarakat.
5. Ideologi adalah salah satu konsep sentral dalam analisis wacana kritis karena setiap bentuk teks, percakapan dan sebaginya adalah praktik ideologi atau pancaran ideologi tertentu. Wacana bagi ideologi adalah meduim melalui mana kelompok dominan mempersuasi dan mengkomunikasikan kepada khalayak kekuasaan yang mereka miliki sehingga absah dan benar.
Pendapat lainnya dikemukakan oleh Brown dan Yule (dalam Herman, 2009) yang menyatakan bahwa bahasa bukan hanya alat komunikasi. Lebih dari itu, kedua pakar linguistik ini menyebutkan dalam penggunaannya bahasa (language in use) merupakan bagian dari pesan dalam komunikasi. Dalam bahasa Brown dan Yule, hal ini disebut dengan istilah ‘transaksional’ dan ‘interpersonal’. Artinya, ada kebiasaan dan kebudayaan dalam menggunakan bahasa sebagai media/alat berkomunikasi.
Analisis wacana juga merupakan tingkatan analisis bahasa yang paling tinggi diantara analisis bahasa lainnya. Jadi analisis wacana seharusnya mengupas hingga interpretasi dari pemakaian sebuah wacana. Seperti dikemukakan Stubbs (dalam Mulyana, 2005:69) analisis wacana juga memperhatikan bahasa pada waktu digunakan dalam konteks sosial , khususnya interaksi antar penutur.
Dari berbagai pendapat yang telah dikemukakan oleh para ahli analisis wacana kritis di atas dapat disimpulkan. Analisis wacana kritis adalah penerapan analisis wacana secara interdisipliner. Analisis wacana kritis tidak hanya terpaku pada unsur linguistik saja tetapi juga pada unsur unsur-unsur lain di luar unsur kebahasaan seperti politik, gender dan faktor sosiologis lain. Jadi, dalam analisis wacana kritis yang ditekankan adalah praktek sosial dari sebuah wacana dan yang menjadi prinsipnya adalah menggali nilai-nilai yang terkandung di dalam sebuah wacana.
B. Penerapan Analisis Wacana Kritis pada Bahasa Pengunjuk Rasa KMHJ tentang Mafia Peradilan
Berikut di bawah ini adalah wacana yang disampaikan oleh orator dari KMHJ (Komunitas Mahasiswa Hukum Jakarta) pada saat unjuk rasa mengenai tuntutan mereka yaitu pemberantasan mafia peradilan. Wacana ini akan menjadin objek yang kemudian akan dianalisis menggunakan analisis wacana kritis.
Masyarakat yang tumpang tindih dan terkesan dirugikan, sehingga proses mencari keadilan di lembaga ini menjadi sangat menyeramkan. Untuk itu sekali lagi kami ada di institusi ini, kami ada di lembaga hukum ini hanya untuk mengajak masyarakat semuanya. Untuk mengajak segala elemen anak bangsa di sini. Untuk melihat kinerja kejaksaan yang sekarang masih berada di titik nadir saudara-saudara. Karena jaksa selaku salah satu eksekutor dalam penegak hukum di republik ini sudah tidak bernurani kawan-kawan. Terkadang rekayasa kasus selalu mewarnai proses penegakan hukum di Republik ini. Sehingga...sehingga bisa dikatakan hukum di negeri ini jalan di tempat bahkan mati suri. Sementara republik ini dibangun di atas pondasi hukum maka seyogyanyalah hukum...hukum bisa harus ditegakkan tanpa pandang bulu, tanpa melihat perbedaan apapun karena semua warga negara sama di depan hukum tak ada keistimewaan di depan hukum.
Untuk itu kami dari Komunitas Mahasiswa Jakarta dengan tegas menyerukan bahwa tegak, hapus dan usut tuntas segala pelaku-pelaku jaksa nakal yang terkesan merekayasa hukum masyarakat untuk kepentingan komunitas masing-masing. Karena oknum-oknum yang bersangkutan adalah juri-juri bagi proses penegakan hukum. Untuk itu sekali lagi ini adalah sebentuk aspirasi moral kami kepada Hendrawan Supanji selaku kejaksaan agung di Republik ini. Untuk melihat tidak hanya pada tingakt lembaga hukum yang tinggi, tapi pada tingkat lembaga hukum sampai level Pengadilan Negeri pun masih ada banyak bergentayangan jaksa-jaksa nakal yang menjadi penghalang menegakkan hukum di Republik ini.
Pada kalimat pertama bait pertama ada bagian yang mengatakan tumpang tindih maksudnya adalah proses peradilan di Indonesia yuang tumpang tindih atau tidak begitu jelas batasan-batasannya. Walaupun sebenarnya telah diatur sedemikian rupa dalam undang-undang namun pelaksanaannya masih terdapat banyak ketimpangan-ketimpangan yang merugikan bagi masyarakat tetapi justru menguntungkan bagi golongan-golongan tertentu. Hal tersebut juga diperjelas dengan digunakannya kata menyeramkan di akhir kalimat. Kalimat berikutnya adalah ajakan bagi seluruh lapisan masyarakat untuk bersama-sama dengan mereka memantau kinerja kejaksaan dan memberikan berbagai masukan agar tidak terjadi penyelewengan-penyelewengan di institusi tersebut. Dan di situ juga disebutkan kinerja kejaksaan berada pada titik nadir. Maksudnya adalah kejaksaan sebagai lembaga peradilan tidak mampu melaksanakan tugasnya dengan baik. Lebih kasarnya lagi kata titik nadir menggambarkan ada atau tidak kejaksaan hasilnya akan sama saja terhadap penegakan di Republik ini.
Pada lanjutan dari wacana di atas yang menjadi titik pangkal pembicaraan adalah kinerja jaksa. Jaksa dinilai sebagai juri namun kinerjanya dianggap seperti bukanlah seorang juri. Para jaksa ini mereka anggap sudah tidak memiliki nurani. Dibuktikan dengan adanya berbagai rekayasa-rekayasa berbagai kasus yang akhirnya tetap memenangkan mereka yang beruang. Mereka pun menyatakan hukum di Indonesia sekarang ini jalan di tempat atau lebih parahnya lagi mati suri. Jadi hukum yang ada di Indonesia sepertinya ada namun tidak ada kegunaannya.
Mereka juga menyebutkan bahwa yang menjadi dasar pendirian Republik Indonesia adalah tegaknya supremasi hukum. Dan hukum menjadi ideologi dari seluruh warga negara Indonesia. Dan hukum tidak pandang bulu. Hukum tidak memberikan keistimewaan kepada siapapun. Semua warga negara di Indonesia dipandang sama di mata hukum tanpa ada pengecualian.
Selanjutnya para pengunjuk rasa dari KMHJ ini menyampaikan bahwa mereka ingin segala bentuk perekayasaan hukum di Indonesia dihapuskan. Begitu pula dengan jaksa-jaksa nakal yang menjadi pelaku dari perekayasaan hukum tersebut juga harus turut dihapuskan pula. Karena perekayasaan hukum ini hanya menguntungkan segelintir orang dan merugikan masyarakat luas. Dan perekayasaan hukum dengan berbagai bentuknya adalah pencorengan kepada wajah hukum di Indonesia.
Para pengunjuk rasa ini juga menyatakan bahwa dengan adanya unjuk rasa ini adalah sebagai wujud aspirasi moral mereka. Sebagai wujud rasa cinta mereka terhadap Republik Indonesia dan penegakan hukumnya. Mereka juga menyatakan kepada jaksa agung saat itu yaitu Hendrawan Supanji. Bahwa Mafia Peradilan tidak hanya terjadi di lingkungan lembaga tinggi hukum saja. Namun, mafia peradilan telah menyebar kepada level-level terendah institusi kejaksaan yaitu pengadilan negeri. Secara tersirat mereka juga ingin menyampaikan bahwa jajaran dari Hendrawan Supanji telah mengalami kebobrokan. Sehingga pada level pengadilan negeri pun mafia peradilan banyak berkeliaran.
Unjuk rasa ini bagi para anggota KMHJ adalah sebuah proses tindakan. Sebuah tindakan untuk mengkritisi kinerja salah satu institusi yang sangat vital di Indonesia. Dengan melakukan unjuk ras ini mereka meminta untuk segera menindaktegas para mafia peradilan terutama para jaksa yang sering menyelewengkan wewenang mereka. Secara konteks para pengunjuk rasa ini ingin menyampaikan tuntutan mereka kepada para petinggi kejaksaan di Indonesia. Oleh para pengunjuk rasa wacana ini dijadikan media untuk berbicara kepada para petinggi kejaksaan. Jadi, sebuah wacana yang disampaikan oleh seorang orator mewakili berbagai macam keinginan dan tindakan yang dirasakan oleh sekelompok pengunjuk rasa.



BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Analisis wacana kritis memandang wacana tidak hanya dari segi linguistik tradisional yang bersifat deskriptif. Namun, lebih dari itu analisis wacana kritis mengupas sebuah wacana lebih dalam dengan berbagai disiplin ilmu di luar linguistik. Seperti namanya analisis wacana kritis juga mengkritisi hal-hal yang belum tersentuh oleh analisis wacana. Analisis wacana kritis menguak berbagai makna yang disampaikan secara tersirat oleh penutur dan memahami apa motifnya dalam menyampaikan sebuah wacana. Seperti wacana yang disampaikan pengunjuk rasa yang telah kita bahas. Tujuan mereka adalah ingin menyampaikan gagasan dan ideologi mereka untuk membentuk sebuah institusi peradilan yang bersih dan bebas dari para mafia hukum.
B. Saran
Bagi Pemerintah
1. Bersihkan institusi-intitusi di negara ini dari segala macam bentuk penyelewengan
2. Berikan insentif yang sepantasnya kepada para pegawai kepemerintahan, agar tidak mencari penghasilan lain di luar pekerjaan mereka
Bagi Masyarakat
1. Kontrol terus kinerja pemerintahan melalui berbagai media masa maupun elektronik
2. Boleh menyampaikan pendapat asal jangan sampai berujung anarkis.








DAFTAR PUSTAKA

Basir, Udjang Pr. M. 2010. Sosiolinguistik Pengantar Kajian Tindak Berbahasa (Konsep, Teori, Model Pendekatan dan Fakta Bahasa). Surabaya: Bintang Surabaya

Inichuwi.blogspot.com diakses pada: 7 Maret 2011

Jorgensen, W., Marianne dan Philips, J. Louise. 2007. Analisis Wacana Teori dan Metode. Yogyakarta:Pustaka Pelajar

Rn, Herman. Lidahtinta.wordpress.com diakses pada: 13 Maret 2011

Mulyana. 2005. Kajian Wacana. Yogyakarta:Tiara Wacana

Yuris, Andre. AndreYuris.wordpress.com diakses pada: 7 Maret 2011



Tidak ada komentar:

Posting Komentar